Perkembangan sistem visual (retina, nervus opticus dan korteks visual) bersifat imatur saat bayi baru lahir. Maturasi dimulai pada minggu pertama kehidupan. Myelinisasi dari nervus opticus, perkembangan korteks visual dan pertumbuhan dari corpus geniculatum lateral terjadi hingga dua tahun pertama kehidupan. Fovea, yang merupakan daerah paling sensitif pada retina mencapai maturitas pada usia 4 tahun. Periode maturasi visual adalah periode kritis karena sistem visual dipengaruhi dari lingkungan eksternal. Rangsangan visual sangat penting untuk perkembangan penglihatan normal. Perkembangan jalur visual di sistem saraf pusat mengharuskan otak menerima gambar yang sama jelas dan terfokus pada kedua mata.

Fiksasi visual dapat dipertahankan segera setelah lahir. Visus bayi baru lahir diperkirakan 20/400. Kemampuan mengikuti objek harus bisa dilakukan pada usia 3 bulan. Fungsi stereopsis dan penglihatan binokular berkembang pada usia 3 โ€“ 7 bulan. Visus maksimal (20/20) diperoleh pada usia 3 โ€“ 5 tahun. Pemeriksaan visus merupakan salah satu bagian yang penting dalam perawatan medis seorang anak. Beberapa abnormalitas mata yang tidak ditangani dalam beberapa bulan hingga tahun dapat menyebabkan penurunan visus yang ireversibel. Visus yang buruk akan menyebabkan perkembangan psikososial yang tidak sesuai dengan usia.

Ambliopia adalah penurunan fungsional ketajaman visus akibat perkembangan visual abnormal di awal kehidupan. Kasus ini paling sering terjadi pada gangguan penglihatan pediatrik, terjadi sekitar 1 โ€“ 4% dari seluruh anak. Kasus ini sering disebut sebagai mata malas akibat ketidakmampuan 1 mata melihat dengan baik dibandingkan mata lainnya. Deteksi awal diagnosis dan/atau faktor risiko ambliopia akan meningkatkan outcome yang baik dari ketajaman visus.

Fisiologi Perkembangan Penglihatan

Pada saat lahir, tajam penglihatan berkisar antara gerakan tangan sampai hitung jari. Hal ini diakibatkan pusat penglihatan di otak yang meliputi nucleus geniculatum lateral dan korteks striata belum matang. Setelah umur 4 โ€“ 6 minggu, fiksasi pada fovea sentral timbul dengan smooth pursuit (kemampuan mata mengikuti objek dengan jarak dekat) yang akurat. Perkembangan penglihatan paling cepat terjadi pada 2 โ€“ 3 bulan pertama yang dikenal sebagai periode kristis perkembangan penglihatan. Tajam penglihatan meningkat lebih lambat setelah periode kritis dan pada saat berumur 3 tahun mencapai 20/30. Perkembangan penglihatan binokular terjadi bersamaan dengan meningkatnya penglihatan monokular, yaitu pada usia 1,5 โ€“ 2 bulan. Perkembangan binokular normal adalah proses penyatuan bayangan di retina dari dua mata ke dalam persepsi penglihatan tunggal tiga dimensi. Syaratnya adalah memiliki sumbu mata yang tepat sehinga bayangan yang sama dari masing โ€“ masing mata jatuh pada titik di retina, kemudian diteruskan ke sel โ€“ sel binokular korteks yang sama. Stereopsis mulai berkembang kemudian pada usia 3 โ€“ 6 bulan. Visus maksimal (20/20) diperoleh pada usia 3 โ€“ 5 tahun.

Definisi Ambliopia

Ambliopia adalah penurunan secara fungsional ketajaman penglihatan akibat perkembangan abnormal visual pada awal โ€“ awal kehidupan. Penyakit ini secara predominan terjadi secara unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral namun sangat jarang. Ambliopia seringkali berkaitan dengan gangguan atau tidak adanya kemampuan stereoakuitas (persepsi kedalaman) akibat gangguan pandangan binokular. ย Kejadian ini terjadi paling sedikit 2% dari populasi yang dapat menyebabkan penurunan visus secara permanen jika tidak dideteksi dan diterapi selama periode spesifik pada masa anak โ€“ anak.

Etiologi dan Klasifikasi Ambliopia

Ambliopia merupakan akibat dari gangguan perkembangan visual yang terjadi saat awal kehidupan. Periode neuroplastisitas korteks visual adalah periode kritis karena sistem visual dipengaruhi oleh faktor luar. Ketajaman visual mencapai maksimal pada usia tiga sampai lima tahun. Periode penurunan visus yang dapat menyebabkan ambliopia dapat meluas dalam jangka waktu beberapa bulan hingga sekitar usia tujuh sampai delapan tahun.

Ambliopia diklasifikasikan berkaitan dengan penyakit yang mendasari gangguan visus, yaitu :

  1. Ambliopia strabismus

Strabismus adalah ketidaksejajaran pada mata. Strabismus dapat terjadi secara vertikel, horizontal, torsional atau kombinasi. Ada beberapa terminologi yang harus dipahami pada strabismus. Pada prefiks, istilah eso adalah deviasi nasal, ekso adalah deviasi temporal, hiper adalah deviasi vertikal superior, dan hipo adalah deviasi vertikal inferior. Pada sufiks, istilah foria mengarah pada strabismus laten, sedangkan istilah tropia mengarah pada strabismus manifes.  Istilah comitant pada strabismus mendeskripsikan deviasi dengan ukuran yang sama pada semua posisi pandangan, sedangkan incomitant pada strabismus mendeskripsikan perubahan deviasi yang bergantung pada posisi pandangan. Pada masa bayi terdapat istilah ocular instability yang mengacu pada ketidaksejajaran mata pada beberapa bulan pertama kehidupan, yang ditandai dengan deviasi ekso atau eso intermiten dan biasanya tidak terlihat setelah usia 4 โ€“ 6 bulan.

Ambliopia strabismus terjadi akibat abnormalitas penglihatan binokular karena kedua fovea mata menghasilkan dua gambar yang berbeda dan tidak mengalami fusi. Kondisi ini menyebabkan korteks visual melakukan supresi pada gambar salah satu mata untuk menghindari diplopia sehingga supresi jangka panjang menyebabkan ambliopia strabismus.ย  Ambliopia tidak terjadi pada semua anak dengan strabismus. Pada anak dengan stabismus intermiten (misalnya eksotropia intermiten), gambar yang ditampilkan ke fovea dapat digabungkan sebagian besar kasus sehingga mencegah terjadinya ambliopia pada anak. Pada anak dengan strabismus konstan, fiksasi alternatif (kadang mata kanan, kadang mata kiri) juga dapat mencegah perkembangan ambliopia. Tingkat keparahan ambliopia dinilai berdasarkan hasisl visus, disebut ambliopia ringan jika visus maksimal 6/9 โ€“ 6/12, ambliopia sedang jika visus maksimal 6/12 โ€“ 6/36, dan ambliopia berat jika visus maksimal <6/36.

2. Ambliopia refraktif

Ambliopia refraktif paling sering terjadi akibat dari gangguan refraksi asimetris (anisometropia). Pada ambliopia akibat anisometropia, fovea kedua mata menerima dua gambar yang berbeda ketajamannya sehingga satu mata tidak fokus pada fovea. Ambliopia anisometropia terjadi dengan adanya perbedaan >1,0 โ€“ 1,5 dioptri pada anisohipermetropia, >2 dioptri pada anisoastigmatisme, dan >3 โ€“ 4 dioptri pada anisomiopia. Ambliopia refraktif bilateral (ambliopia ametropik atau isoametropik) jarang terjadi dan berkembang pada gangguan refraksi yang berat. Ambliopia refraktif sering terjadi pada pasien hipermetropia, namun dapat juga terjadi pada miopia berat > 5 โ€“ 6 dioptri, hipermetropia >4 โ€“ 5 dioptri dan astigmatisme >2 โ€“ 3 dioptri.Ambliopia refraktif sering terdeteksi pada usia yang lebih tua dibandingkan ambliopia ย strabismus karena anak โ€“ anak dengan gangguan refraksi tidak memiliki kelainan eksternal yang jelas pada mata, dan fungsi visualnya tampak normal karena mereka biasanya melihat dengan baik pada satu mata. Anak โ€“ anak sering terdiagnosis pada saat mereka bisa mengidentifikasi bentuk benda atau huruf, biasanya pada usia 4 โ€“ 5 tahun. Photoscreening dan autorefraksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk pemeriksaan penglihatan pada anak non verbal yang dapat mengarah pada deteksi dini. AAO telah menerbitkan pedomen pengobatan untuk koreksi refraksi pada bayi dan anak kecil. Pengobatan ambliopia refraksi mungkin hanya memerlukan koreksi kacamata.

Guideline Koreksi Refraksi pada Anak

3. Ambliopia Deprivasional

Ambliopia deprivasional paling jarang terjadi dan merupakan ambliopia yang paling berat. Kondisi ini terjadi akibat kurangnya penglihatan akibat interupsi pada aksis visual atau distorsi gambar di fovea. Penyakit yang menyebabkan kelainan ini adalah katarak kongenital, ptosis, opasitas kornea kongenital, dan perdarahan vitreous. Pasien anak dengan ambliopia deprivasional jika tidak ditangani secara urgen dapat menyebabkan gangguan visual permanen.

Epidemiologi Ambliopia

Prevalensi ambliopia diestimasikan terjadi 3% dari seluruh populasi. Estimasi prevalensi bervariasi berdasarkan ambang batas yang digunakan untuk menentukan penurunan ketajaman visual, populasi yang diteliti, proses skrining dan pengobatan dini. Prevalensi pada laki โ€“ laki sama dengan perempuan. Secara praktik klinis, pasien ambliopia sulit mengidentifikasi huruf linear, namun memiliki visus yang lebih baik saat diberikan simbol atau huruf tunggal yang disebut crowding phenomenon.

Skrining dan Diagnosis Ambliopia

Diagnosis dan terapi dini ambliopia akan memperbaiki prognosis perkembangan penglihatan. Ibu pasien harus ditanyakan mengenai beberapa pertanyaan berikut :

  1. Apakah anak ibu melihat dengan baik?
  2. Apakah ibu memperhatikan sesuatu yang aneh pada penglihatan anaknya?
  3. Apakah ada kesulitan melihat objek yang dekat (sepanjang lengan) atau objek yang jauh?
  4. Apakah anak selalu memegang sesuatu saat mencoba untuk fokus?
  5. Apakah mata anak pernah tampak juling?
  6. Apakah anda anda menyipitkan mata saat melihat?
  7. Apakah kelopak mata kedua anak tidak simetris atau adanya kecenderungan untuk menutup?
  8. Apakah mata anak tampak tidak biasa?
  9. Apakah pernah terjadi luka pada mata anak?

Riwayat medis harus ditanyakan secara lengkap karena ada beberapa penyakit yang berkaitan dengan penurunan visus pada anak. Misalnya pada anak dengan riwayat prematur akan meningkatkan risiko terjadinya ambliopia, miopia berat dan strabismus. Riwayat keluarga juga harus ditanyakan seperti riwayat katarak kongenital, strabismus, ambliopia, glaukoma, hingga penyakit retina.

Deteksi ambliopia disarankan dilakukan pada anak dengan usia dibawah 5 tahun.

UsiaPemeriksaanIndikasi Rujukan
0 โ€“ 6 bulanPemeriksaan respon fixate and follow, pemeriksaan mata bagian luar (kelopak mata, orbita, konjungtiva, kornea, iris), respon pupil, red reflex.Pemeriksaan abnormal : red reflex abnormal, pupil asimetris โ‰ฅ 1 mm, ptosis unilateral, tidak bisa melakukan fix and follow pada usia 3 bulan.
6 โ€“ 12 bulanPemeriksaan respon fixate and follow, pemeriksaan mata bagian luar (kelopak mata, orbita, konjungtiva, kornea, iris), motilitas okular, respon pupil, red reflexPemeriksaan abnormal : red reflex abnormal, pupil asimetris โ‰ฅ 1 mm, ptosis unilateral, tidak bisa melakukan fix and follow
1 โ€“ 3 tahunPemeriksaan visus sesuai usia, jika belum kooperatif dilakukan respon fixate and follow; jika sudah kooperatif bisa menggunakan optotipe HOTV atau LEA, pemeriksaan mata bagian luar (kelopak mata, orbita, konjungtiva, kornea, iris), motilitas okular, respon pupil, red reflex, skrining penglihatan (photoscreening atau autorefraksi) jika memungkinkan.Pemeriksaan abnormal : red reflex abnormal, pupil asimetris โ‰ฅ 1 mm, ptosis unilateral, tidak bisa melakukan fix and follow, ketidaksejajaran mata, visus < 20/50 pada satu atau dua mata, perbedaan gangguan visus lebih atau sama dengan 2 garis.
4 โ€“ 5 tahunPemeriksaan visus menggunakan optotipe HOTV, LEA, atau snellen chart, pemeriksaan mata bagian luar (kelopak mata, orbita, konjungtiva, kornea, iris), motilitas okular, respon pupil, red reflex, skrining penglihatan (photoscreening atau autorefraksi) jika memungkinkan, refleks korneaPemeriksaan abnormal : red reflex abnormal, pupil asimetris โ‰ฅ 1 mm, ptosis unilateral, ketidaksejajaran mata, visus < 20/40 untuk anak usia 48 โ€“ 59 bulan dan visus <20/30 untuk anak usia โ‰ฅ60 bulan, perbedaan gangguan visus lebih atau sama dengan 2 garis.
Tabel Skrining Visus pada Pediatrik

Kriteria rujukan pada saat skrining visus pada anak dapat mengikuti rule of eight, yaitu :

Usia (tahun)Rule of EightCritical Line Visus Normal
22 + 6 = 820/60
33 + 5 = 820/50
44 + 4 = 820/40
55 + 3 = 820/30
66 + 2 = 620/20
Tabel Rule of Eight Visus Anak

Hasil pemeriksaan yang mengarahkan pada ambliopia pada anak adalah :

  1. Tes refleks fiksasi : Kegagalan memulai atau mempertahankan fiksasi

Pada pemeriksaan ini, setiap mata diuji dengan cara menutup mata yang tidak diperiksa, kemudian dilakukan pergerakan target visual ke segala arah dalam ruang visual anak. Syarat pemeriksaan ini adalah pada lingkungan yang sunyi karena bunyi dapat menyebabkan hasil positif palsu karena adanya refleks vestibulookular. Anak yang memiliki penglihatan yang sama akan dapat mempertahankan fiksasi yang stabil dengan salah satu mata dan biasanya tidak memiliki preferensi fiksasi yang kuat untuk satu mata. Sebaliknya, anak โ€“ anak dengan strabismus dan ambliopia jarang mempertahankan fiksasi dengan mata amblopia saat kedua mata tidak ditutup.

2. Tes occlution objection : Objeksi asimetris

Tes ini melibatkan pemantauan respon anak terhadap oklusi mata secara bergantian. Anak โ€“ anak dengan penglihatan yang sama harus merespon secara simetris, atau tidak sama sekali untuk oklusi alternatif. Anak โ€“ anak dengan gangguan penglihatan pada 1 mata akan menyebabkan iritabel atau agitasi saat mata sehat dilakukan oklusi. Tes ini harus diulang beberapa kali karena beberapa anak menjadi gelisah dan menolak upaya untuk menutupi kedua matanya. Preferensi yang kuat untuk satu mata, yang ditunjukkan dengan menolak oklusi, sangat sugestif untuk ambliopia di mata yang berlawanan.

3. Tes vertical prism : Preferensi fiksasi atau tidak dapat mempertahankan fiksasi

Tes ini dilakukan dengan menggunakan prisma vertikal 10 โ€“ 14 dioptri yang dipegang di depan mata kanan, yang menyebabkan gambar yang dilihat oleh mata ini lebih tinggi daripada gambar mata kiri dan menghasilkan tropia vertikal fungsional. Ambliopia harus dicurigai jika mata bergerak ke atas secara konsisten untuk melihat gambar yang dipindahkan. Ini menandakan bahwa pasien lebih memilih (memiliki penglihatan yang lebih baik) pada mata kanan. Tes kemudian diulangi dengan prisma di depan mata kiri untuk memastikan hal ini. Jika pada saat alas prisma diletakkan di depan mata kiri, tidak ada gerakan mata ke atas, maka ini menandakan bahwa pasien lebih memilih menggunakan mata kanan. ย 

4. Pemeriksaan visus dengan koreksi terbaik (pada anak kooperatif yang lebih tua) :

a. Ambliopia unilateral : terdapat perbedaan โ‰ฅ2 garis penglihatan pada mata

b. Ambliopia bilateral :

  • Usia 3 โ€“ โ‰ค4 tahun : visus <20/50
  • Usia 4 โ€“ โ‰ค5 tahun : visus <20/40
  • Usia >5 tahun : visus <20/30

Diferensial Diagnosis

  1. Lesi pada jalur visual
    1. Kelainan retina
      1. Korioretinitis : inflamasi pada koroid dan retina, berkaitan dengan infeksi TOCH
      2. Retinoblastoma : secara tipikal ditemukan leukokoria, kadang strabismus, nistagmus dan mata merah
      3. Retinopathy of Prematurity : proliferasi vaskular retina abnormal yang terjadi pada bayi preterm
      4. Stargardt disease :ย  degenerasi makula pada masa kanak โ€“ kanak, biasanya 7 โ€“ 12 tahun
      5. Coats disease : kelainan vaskular retina yang ditandai dengan telangiektasis dan eksudasi subretinal yang menyebabkan ablasio retina serosa, sering disertai leukokoria berwarna kuning
    2. Kelainan nervus optik, ditandai dengan afferent pupillary defect dan diskromatopsia (gangguan penglihatan warna), misalnya neuropati optik dan neuritis optik
    3. Kelainan otak, misalnya kasus craniopharyngioma
  2. Penyebab psikogenik, ditemukan pada anak dengan gangguan mental. Seringkali disertai gejala somatik seperti nyeri kepala, fotofobia, atau diplopia, misalnya gangguan konversi dan malingering.

Tatalaksana

Anak dengan ambliopia harus dirujuk ke dokter spesialis mata untuk tatalaksana lanjutan dengan tujuan mencapai ketajaman visus yang maksimal. Tatalaksana harus dilakukan secepat mungkin, dan sangat responsif jika dimulai sebelum usia 7 tahun dengan batas atas usia sekitar 9 โ€“ 10 tahun. Walaupun optimal untuk memulai terapi dilakukan pada anak usia dini, berdasarkan rekomendasi American Acedemy of Ophthalmology untuk mencoba pengobatan pada semua anak dengan ambliopia yang sebelumnya tidak diobati, tanpa memandang usia. Pada penelitian ditemukan bahwa terapi ambliopia pada anak usia diatas 7 tahun memiliki angka kesembuhan sebesar 25 โ€“ 50%.

Penurunan visus akibat adanya obstruksi visual seperti katarak atau ptosis harus segera dikoreksi sebelum mengatasi ambliopia. Sama halnya dengan gangguan refraksi, harus segera dikoreksi dengan kacamata ataupun kontak lensa karena patching mata yang sehat untuk terapi ambliopia pada kasus gangguan refraksi hanya memiliki sedikit keuntungan jika mata yang ambliopia tidak dapat fokus dengan jelas. Pada kasus anak dengan ambliopia refraktif ringan hingga berat (visus 20/40 โ€“ 20/80), koreksi refraksi saja mungkin cukup untuk pengobatan pada sepertiga pasien. Pasien seperti ini dapat diobati hanya dengan kacamata dan diobservasi dalam 3 โ€“ 4 bulan. Jika ambliopia berlanjut, patching atau tatalaksana farmakologi harus dimulai.

Pada anak โ€“ anak dengan ambliopia strabismus dan ambliopia refraktif buruk (visus <20/100), koreksi gangguan refraksi saja umumnya tidak cukup untuk pengobatan. Anak harus didorong untuk menggunakan mata ambliopia. Hal ini dilakukan dengan mencegah penggunaan mata yang sehat, yaitu dengan cara penutup mata(patching atau oklusi) atau dengan pengunaan obat tetes mata sikloplegik. Suatu tinjauan sistematis pada tahun 2014 yang meliputi 3 RCT menyimpulkan bahwa kombinasi koreksi refraksi ditambah oklusi atau penggunaan sikloplegik lebih efektif dibandingkan dengan koreksi refraksi saja untuk pengobatan ambliopia strabismus.

Terapi oklusi dilakukan dengan cara menutup mata yang sehat. Aktivitas visual jarak dekat (misalnya permainan papan, membaca dan menulis) selama terapi oklusi biasanya digunakan untuk mendorong penggunaan mata yang ambliopia. Durasi terapi oklusi bervariasi dari dua jam hingga selama aktivitas, tergantung pada usia anak (anak yang lebih kecil umumnya membutuhkan lebih sedikit waktu terapi oklusi daripada anak yang lebih tua), penyebab dan keparahan ambliopia (ambliopia berat biasanya membutuhkan waktu lebih intensif dibandingkan ambliopia ringan sampai sedang), dan preferensi spesialis yang merawat, serta orang tua. Pada kebanyakan pasien dengan ambliopia ringan sampai sedang, pengobatan dapat dimulai dengan dua jam setiap hari. Jika tidak ada perbaikan yang dicapai pada kunjungan tindak lanjut pertama atau kedua, durasi terapi oklusi ditingkatkan hingga 4 โ€“ 6 jam per hari atau lebih.

Kendala dalam terapi oklusi adalah kepatuhan karena banyak anak yang menolak memakai penutup mata. Mereka mungkin akan melepas atau merobek penutup mata untuk memungkinkan pengintipan. Tindakan ini dapat membuat pengobatan kurang efektif atau sama sekali tidak efektif. Selain itu, komunikasi yang jelas termasuk instruksi tertulis untuk orang tua dan gambar untuk anak โ€“ anak dapat meningkatkan kepatuhan terhadap terapi oklusi.

Anak โ€“ anak yang menjalani terapi oklusi berisiko mengalami ambliopia oklusi di mata sebelahnya, dan oleh karena itu penting untuk memantau ketajaman visual di kedua mata pada setiap kunjungan. Berdasarkan hasil studi pengobatan ambliopia menunjukkan bahwa durasi yang lebih singkat sama efektifnya dengan durasi terapi sepanjang hari, dan menunjukkan hasil ambliopia oklusi lebih jarang terjadi. Ambliopia oklusi tidak selalu menjadi alasan untuk membatasi atau menghentikan pengobatan kecuali penurunan ketajaman penglihatan memburuk pada beberapa kunjungan.

Tatalaksana farmakologi dengan penggunaan sikloplegik ditujukan untuk melumpuhkan iris sehingga mendorong mata ambliopia untuk melihat, namun terapi ini tidak efektif pada pasien dengan miopia. Atropin adalah agen sikloplegik yang paling sering digunakan, namun terdapat juga beberapa obat seperti homatropin dan skopolamin. Dalam praktik sehari โ€“ hari, sering digunakan atropin (larutan oftalmik 1%) satu tetes ke mata sehat sekali sehari dalam 1 minggu atau setiap hari. Pada anak dengan usia โ‰ฅ 2 tahun. Atropin menyebabkan dilatasi pupil, paralisis sementara corpus ciliaris, dan hilangnya kemampuan akomodasi. Penurunan kemampuan akomodasi pada mata sehat menyebabkan mata ambliopia akan melihat secara kompetitif. Efek samping penggunaan atropin adalah sensitivitas terhadap cahaya, iritasi konjungtiva, nyeri pada mata, demam, rasa panas, nyeri kepala, mulut kering, denyut jantung meningkat dan reaksi alergi.

Pada usia <2 tahun, tatalaksana terapi oklusi lebih dipilih dibandingkan penggunaan atropin karena risiko sistemik efek samping lebih tinggi pada kelompok usia ini. Jika ingin menggunakan terapi farmakologis, lebih dipilih penggunaan siklopentolat (larutan oftalmik 1%) 1 tetes dibandingkan dengan atropin. Pada suatu meta-analisis ditemukan tidak adanya perbedaan keluaran outcome visus pada penggunaan atropin dan terapi oklusi setelah 17 โ€“ 24 minggu pengobatan pada usia 7 โ€“ 12 tahun.

Terapi ambliopia dilanjutkan sampai ketajaman penglihatan normal atau mendekati normal, atau sampai perbaikan maksimal tercapai (yang biasanya dilakukan bila tidak ada perbaikan lebih lanjut). Dalam suatu penelitian yang mengevaluasi perjalanan waktu perbaikan ambliopia, durasi median terapi oklusi memerlukan waktu 20,2 minggu untuk perbaikan maksimal. Biasanya durasi waktu 6 bulan atau lebih dibutuhkan dan pada beberapa kasus 30 โ€“ 40% membutuhkan waktu 2 tahun.

Setelah ketajaman penglihatan ditingkatkan secara maksimal, terapi maintenance disarankan selama 4 โ€“ 12 bulan lagi untuk mencegah rekurensi. Pada anak โ€“ anak yang dilakukan terapi oklusi intensif, pengurangan durasi terapi dilakukan secara bertahap. Beberapa ahli merekomendasikan terapi maintenance dilanjutkan sampai anak usia berusia 7 โ€“ 8 tahun karena sistem visual pada dasarnya sudah matur dan ambliopia berulang tidak mungkin terjadi.

Prognosis

Outcome visual pada anak dengan terapi oklusi ataupun atropin sebelum usia 7 tahun sangat baik, walaupun beberapa anak tidak dapat mencapai visus yang normal. Faktor yang memengaruhi prognosis yang baik adalah usia muda (<5 tahun) pada awal pengobatan, visus dengan baseline yang baik pada mata ambliopia, dan kepatuhan pengobatan.

Referensi

Al-Haddad, C., Ismail, K., Jurdi, K.W., Keaik, M., 2019. Clinical Profile and Treatment Outcomes of Amblyopia Across Age Groups. Middle East Afr. J. Ophthalmol. 26, 71โ€“76. https://doi.org/10.4103/meajo.MEAJO_182_17

Blair, K., Cibis, G., Gulani, A.C., 2020. Amblyopia, in: StatPearls. StatPearls Publishing, Treasure Island (FL).

Chen, A.M., Cotter, S.A., 2016. The Amblyopia Treatment Studies: Implications for Clinical Practice. Adv. Ophthalmol. Optom. 1, 287โ€“305. https://doi.org/10.1016/j.yaoo.2016.03.007

Dean, S.E., Povey, R.C., Reeves, J., 2016. Assessing interventions to increase compliance to patching treatment in children with amblyopia: a systematic review and meta-analysis. Br. J. Ophthalmol. 100, 159โ€“165. https://doi.org/10.1136/bjophthalmol-2015-307340

Longmuir, S., Pfeifer, W., Scott, W., Olson, R., 2013. Effect of occlusion amblyopia after prescribed full-time occlusion on long-term visual acuity outcomes. J. Pediatr. Ophthalmol. Strabismus 50, 94โ€“101. https://doi.org/10.3928/01913913-20121127-01

Mansouri, B., Stacy, R.C., Kruger, J., Cestari, D.M., 2013. Deprivation amblyopia and congenital hereditary cataract. Semin. Ophthalmol. 28, 321โ€“326. https://doi.org/10.3109/08820538.2013.825289

Optical Treatment of Strabismic and Combined Strabismic-Anisometropic Amblyopia, 2012. . Ophthalmology 119, 150โ€“158. https://doi.org/10.1016/j.ophtha.2011.06.043

Osborne, D.C., Greenhalgh, K.M., Evans, M.J.E., Self, J.E., 2018. Atropine Penalization Versus Occlusion Therapies for Unilateral Amblyopia after the Critical Period of Visual Development: A Systematic Review. Ophthalmol. Ther. 7, 323โ€“332. https://doi.org/10.1007/s40123-018-0151-9

Park, S.H., 2019. Current Management of Childhood Amblyopia. Korean J. Ophthalmol. KJO 33, 557โ€“568. https://doi.org/10.3341/kjo.2019.0061

Shen, K.L., Bhatt, A.R., 2017. Clinical Pearl: The โ€œRule of 8.โ€ J. Pediatr. Ophthalmol. Strabismus 54, e75โ€“e76. https://doi.org/10.3928/01913913-20170907-08

Solebo, A.L., Cumberland, P.M., Rahi, J.S., 2015. Whole-population vision screening in children aged 4-5 years to detect amblyopia. Lancet Lond. Engl. 385, 2308โ€“2319. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60522-5

Stein, A., Kelly, J.P., Weiss, A.H., 2014. Congenital eyelid ptosis: onset and prevalence of amblyopia, associations with systemic disorders, and treatment outcomes. J. Pediatr. 165, 820-824.e2. https://doi.org/10.1016/j.jpeds.2014.06.053

Tailor, V., Bossi, M., Greenwood, J.A., Dahlmann-Noor, A., 2016. Childhood amblyopia: current management and new trends. Br. Med. Bull. 119, 75โ€“86. https://doi.org/10.1093/bmb/ldw030

Taylor, K., Elliott, S., 2014. Interventions for strabismic amblyopia. Cochrane Database Syst. Rev. https://doi.org/10.1002/14651858.CD006461.pub4

Wallace, D.K., Lazar, E.L., Crouch, E.R., Hoover, D.L., Kraker, R.T., Tamkins, S.M., Pediatric Eye Disease Investigator Group, 2015. Time course and predictors of amblyopia improvement with 2 hours of daily patching. JAMA Ophthalmol. 133, 606โ€“609. https://doi.org/10.1001/jamaophthalmol.2015.6

Wallace, D.K., Repka, M.X., Lee, K.A., Melia, M., Christiansen, S.P., Morse, C.L., Sprunger, D.T., 2018. Amblyopia Preferred Practice Patternยฎ. Ophthalmology 125, P105โ€“P142. https://doi.org/10.1016/j.ophtha.2017.10.008

West, S., Williams, C., 2016. Amblyopia in children (aged 7 years or less). BMJ Clin. Evid. 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *