GERD adalah kondisi yang paling umum ditemukan pada pasien di poliklinik. GERD sendiri adalah penyakit kronik akibat aliran retrograde kandungan gastroduodenal ke esofagus atau organ sekitar, dan menimbulkan banyak variasi gejala, dengan atau tanpa kerusakan jaringan. Mekanisme paling dominan adalah adanya relaksasi transien (sementara) dari lower esophageal sphincter (LES).

Patogenesis GERD

Refluks patologis isi lambung terjadi ketika barrier antireflux pada gastroesofagus mengalami kelainan, biasanya dalam keadaan postprandial. Antireflux dari gastroesophageal secara anatomis dan fisiologis rentan terhadap sejumlah mekanisme potensial refluks. Mekanisme antireflux primer adalah LES, segmen otot polos di esofagus bagian bawah yang berkontraksi secara kronis untuk mempertahankan tekanan sekitar 15 mm Hg di atas tekanan intragastrik. Diafragma krural, terdiri dari otot lurik dan membentuk hiatus esofagus, juga berkontribusi sebagai antireflux di gastroesofagus.

Dua pola utama disfungsi LES yang terkait dengan GERD adalah (1) LES hipotensif dan (2) relaksasi LES transien patologis. Gangguan anatomis pada gastroesophageal junction, umumnya terkait dengan hernia hiatus dan migrasi proksimal LES, berkontribusi pada patogenesis penyakit refluks dengan mengganggu fungsi LES.

Relaksasi LES transien terjadi pada sebagian besar kejadian refluks pada individu dengan tekanan LES normal dan penyakit refluks ringan secara klinis. Tekanan LES yang rendah secara kronis adalah mekanisme GERD utama pada pasien dengan penyakit refluks berat, seperti pada pasien dengan skleroderma. Faktor lambung dapat memainkan peran penting dalam menghasilkan GERD. Faktor lambung yang mempromosikan GERD termasuk peningkatan volume lambung setelah makan, peningkatan tekanan lambung karena obesitas, posisi berbaring setelah makan, dan pengosongan lambung yang tertunda atau gastroparesis, yang dapat diinduksi oleh idiopatik atau obat. Peningkatan distensi lambung dapat menyebabkan peningkatan relaksasi LES transien dan volume refluks, terutama pada pasien GERD dengan hernia hiatus yang besar. Pengosongan lambung yang tertunda, atau gastroparesis, dapat terjadi pada sekitar 15% pasien dengan GERD dan seringkali kurang terdiagnosis.

Faktor lain yang menurunkan tekanan LES dan berkontribusi pada GERD adalah obat-obatan, perilaku gaya hidup, dan konsumsi makanan tertentu. Obat-obatan tertentu ada yang dapat memperburuk GERD dengan menurunkan tekanan LES; dan ada juga yang dapat menyebabkan esofagitis akibat cedera mukosa langsung. Makanan, minuman, dan perilaku tertentu akan menyebabkan mulas dengan mengurangi tekanan LES. Makanan berlemak, peppermint, coklat, minuman berkafein, alkohol, dan merokok semuanya dapat menurunkan tekanan LES.

Penurunan Tekanan LESCedera Mukosa langsung
Beta agonis (termasuk inhaler)
Alfa antagonis
Antikolinergik
Calcium channel blocker (CCB)
Diazepam
Estrogen
Narkotik
Progesteron
Teofilin
Antidepresan trisiklik
Alendronat
Aspirin
Garam besi
NSAID
Tablet KCl
Kuinidin
Tetrasiklin


Obat Penyebab GERD atau esofagitis

Makanan Pencetus GERD : Kafein, coklat, peppermint, alkohol (pH red wine = 3,25), minuman soda/karbonasi (pH coca cola = 2,75), buah sitrus (pH jus jeruk = 3,25), produk berbasis tomat (pH jus tomat = 3,25), cuka (pH = 3,0)

Gaya Hidup Pencetus GERD : Berat badan berlebih, merokok, tidur setelah makan

Tanda dan Gejala

GERD didefinisikan berdasarkan American College of Gastroenterology (ACG) sebagai gejala atau kerusakan mukosa akibat abnormalitas refluks isi gaster ke esofagus. Manifestasi tipikal dari GERD adalah heartburn, regurgitasi dan disfagia. Gejala lainnya adalah globus (sensasi seperti ada massa di kerongkongan), odinofagia (nyeri saat menelan), nausea (mual).

Heartburn (pyrosis) didefinisikan sebagai adanya ketidaknyamanan seperti terbakar di belakang sternum (retrosternal), biasanya di regio area epigastrium yang dapat menjalar ke leher, terjadi setelah makan (post prandial) terutama makanan tinggi lemak dan jumlah besar.

Perubahan postur seperti berbaring seringkali menyebabkan eksaserbasi gejala pada pasien. Gejala juga dapat diperparah oleh berbagai makanan seperti saus tomat, peppermint, coklat, kopi, teh dan alkohol. Saat evaluasi pasien dengan keluhan heartburn (pyrosis), tanyakan durasi dan derajat keparahannya. Pasien dengan gejala tipikal namun frekuensi minimal (2 kali seminggu, selama 4 – 8 minggu) bisa diperkirakan mengalami GERD.

Selain itu, penting juga untuk menilai apakah terdapat “alarm symptoms/sign“, yaitu :

  1. Disfagia
  2. Odinofagia
  3. Penurunan berat badan
  4. Perdarahan gastrointestinal
  5. Riwayat keluarga dengan keganasan traktus digestivus
  6. Anemia yang tidak diketahui penyebabnya
  7. Usia tua

Jika didapatkan adanya alarm symptoms, maka perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas ataupun modalitas radiologi untuk menyingkirkan tanda keganasan.

GERD juga dapat muncul dengan gejala atipikal, yang biasanya disebut juga gejala ekstraesofageal, meliputi organ paru, telinga, hidung, tenggorok. Berdasarkan beberapa literatur, GERD patologis dapat ditemukan pada 30 – 80% pasien dengan asma (namun hubungannya belum jelas). GERD dapat menjadi pencetus asma melalui mikroaspirasi asam lambung disertai iritasi saluran nafas atas atau respon vagal (dimediasi oleh asam). Walaupun demikian, perubahan tekanan thoracoabdominal dari asma akibat hiperinflasi paru akan menganggu antireflux, dan penggunaan bronkodilator juga menurunkan tonus LES, sehingga bisa terjadi refluks. Jika dicurigai GERD menjadi penyebab asma pada onset dewasa, beberapa penelitian menunjukkan penggunaan supresi asam tidak bermanfaat. Berdasarkan guideline, terapi supresi asam lebih bermanfaat jika pasien muncul dengan gejala tipikal (esofageal). Pada pasien dengan gejala atipikal masih kontroversial penggunaan terapi supresi asam.

Pada laryngopharyngeal reflux (LPR), regurgitasi isi lambung akan bisa mencapai aerodigestif bagian atas meliputi telinga, hidung, dan tenggorok sehingga dapat muncul gejala batuk kronik, suara serak, nyeri tenggorokan, sensasi globus dan otitis media.

Pasien gastroparesis dan GERD akan muncul dengan gejala mual, muntah atau cepat kenyang. Pasien seperti ini biasanya tidak respon terhadap penggunaan tunggal agen antisekretorik asam, dan refluks yang mengandung asam empedu & enzim digestif juga dapat ditemukan. Gastroparesis harus dicurigai pada pasien dengan onset GERD akut atau subakut, biasanya setelah infeksi respiratorik bagian atas akibat virus ataupun gastroenteritis. Biasanya pada kasus ini sembuh sendiri, namun beberapa pasien juga membutuhkan agen prokinetik. Agen antisekretorik hanya berperan mengurangi beberapa gejala dan menurunkan volume gaster. Makan makanan rendah lemak, porsi sedikit dan sering, dapat membantu mengontrol gejala GERD.

Pemeriksaan Penunjang pada GERD

GERD klasik dapat didiagnosis dengan melihat riwayat gejala yang menyeluruh dan dikonfirmasi dengan respons lengkap terhadap terapi medis (“tes PPI”). Secara umum, tes diagnostik dilakukan pada pasien yang gagal respon terhadap terpi atau untuk pasien yang memiliki alarm symptoms. Pemeriksaan penunjang pada GERD meliputi barium meal, endoskopi saluran cerna atas, monitoring pH esofagus 24 jam (dengan atau tanpa impedansi), dan studi pH dengan kapsul.

Terapi PPI sangat efektif dalam menyembuhkan esofagitis. Pasien yang tidak memiliki respons gejala terhadap terapi PPI kecil kemungkinannya mengalami GERD sehingga perlu evaluasi lanjutan. Sebuah meta-analisis yang menilai akurasi PPI normal atau dosis tinggi selama 1-4 minggu dalam diagnosis GERD menemukan sensitivitas gabungan 78% (interval kepercayaan 95% [CI] 66-86%) dan spesifisitas 54 % (44-65%) dengan pengukuran pH ambulatorik digunakan sebagai standar emas. Pengujian diagnostik untuk pasien GERD diindikasikan pada mereka yang gagal dalam uji coba PPI (tes PPI) atau memiliki alarm symptoms.

Pemeriksaan radiologi tidak banyak digunakan dalam pengelolaan GERD karena sensitivitas yang buruk pada GERD ringan, tetapi dapat mendeteksi esofagitis sedang hingga berat, striktur, hernia hiatus, dan tumor. Pemeriksaan yang paling umum digunakan adalah barium swallow/meal, yang hanya memeriksa esofagus, lambung, dan usus kecil bagian atas. Kegunaan utama pemeriksaan radiologi pada GERD adalah untuk menyingkirkan penyakit lain pada pasien yang memiliki kecurigaan klinis rendah untuk penyakit signifikan. Studi ini dapat membantu mengevaluasi penyakit ulkus peptik dan tumor sebagai penyebab gejala pasien. Selain itu, pemeriksaan radiologi dapat membantu dalam evaluasi pasien dengan disfagia untuk menyingkirkan ring peptik, yang terkadang sulit untuk divisualisasikan pada endoskopi bagian atas. Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan radiologis tidak invasif, banyak tersedia, dan relatif murah. Namun, pemeriksaan ini kurang sensitif dan spesifik dibandingkan endoskopi atas, dan membutuhkan keterampilan operator yang mungkin semakin langka di era pencitraan saat ini.

Endoskopi saluran cerna atas, selain menyingkirkan penyakit lain seperti tumor dan ulkus peptik, dapat juga mendeteksi dan menilai tingkat keparahan esofagitis akibat GERD. Endoskopi saluran cerna atas sangat spesifik (90-95%) untuk GERD tetapi memiliki sensitivitas terbatas (~ 50%). Tingkat dan keparahan cedera mukosa dapat dinilai secara endoskopi, yaitu dengan klasifikasi esofagitis Los Angeles (menghitung panjang dan lingkar patahan mukosa). Endoskopi atas juga memungkinkan evaluasi komplikasi penyakit, seperti striktur atau esofagus Barrett. Oleh karena itu tes ini merupakan tes pilihan pada pasien dengan alarm symptoms. Jika pasien mengalami disfagia dan striktur terdeteksi, pelebaran striktur dapat dilakukan dalam prosedur yang sama. Biopsi esofagus juga merupakan tes terbaik untuk pasien yang dicurigai mengalami esofagitis eosinofilik, terutama pasien yang lebih muda dengan riwayat disfagia intermiten dan atopi. Pedoman klinis terbaru yang diterbitkan dari American College of Physician merekomendasikan endoskopi bagian atas pada pasien refluks dengan alarm symptoms, gejala persisten meskipun diberikan terapi PPI dua kali sehari selama 4-8 minggu, esofagitis berat (untuk menilai penyembuhan setelah pengobatan dan menyingkirkan esofagus Barrett) , dan disfagia berulang dalam pengaturan riwayat striktur. Mereka juga menyarankan bahwa endoskopi bagian atas dapat diindikasikan pada pria berusia 50 atau lebih dengan gejala refluks kronis dan faktor risiko tambahan, seperti refluks nokturnal, hernia hiatus, penggunaan perokok, atau indeks massa tubuh yang meningkat.

Monitoring pH intraesofagus ambulatotik (rawat jalan) dilakukan menggunakan probe yang dapat merekam pH esofagus distal secara terus menerus selama 24 jam. Pengujian dilakukan dengan probe pH yang dilewatkan secara transnasal hingga 5 cm di atas LES yang ditentukan secara manual. Data dikumpulkan dengan perangkat bertenaga baterai yang dibawa oleh pasien, yang juga mencatat kapan makanan dimakan dan gejala yang dialami. Teknik ini memungkinkan penilaian adanya korelasi antara gejala dan episode refluks. Pemantauan pH esofagus ini mencatat waktu, durasi, dan jumlah episode refluks. Episode refluks asam didefinisikan sebagai pH esofagus di bawah 4. Biasanya jumlah total waktu selama esofagus memiliki pH 4 atau kurang (juga disebut waktu paparan asam) harus mencakup kurang dari 4% dari durasi analisis.

Meskipun sensitif, pengujian pH esofagus hanya boleh digunakan pada sebagian kecil pasien GERD. Pemantauan pH dua puluh empat jam berguna pada pasien yang memiliki gejala GERD khas tanpa atau respons yang tidak memadai terhadap terapi antisekresi asam. Jika dilakukan pada populasi pasien ini, pemantauan pH ambulatorik dapat menentukan apakah diagnosis GERD benar atau jika terapi medis atau bedah tambahan diperlukan. Ini juga dapat membantu pasien dengan gejala GERD atipikal, seperti asma, batuk kronis, dan nyeri dada nonkardiak, saat gejala ini tidak responsif terhadap terapi supresi asam. Pemantauan pH esofagus ambulatorik juga penting dalam penilaian pra operasi pasien yang menjalani operasi antireflux, karena telah terbukti membantu respons prognostik. Hal ini juga berguna untuk evaluasi gejala persisten atau berulang pada pasien yang telah menjalani operasi antireflux, untuk menentukan apakah refluks berlanjut.

Meskipun sangat berguna pada pasien tertentu, pengujian pH esofagus tidak tersedia secara luas, tidak nyaman, dan mahal. Ketidaknyamanan yang terkait dengan penempatan probe hidung telah mendorong pengembangan sistem pemantauan pH wireless (dengan menggunakan kapsul). Sistem pemantauan pH kapsul wireless Bravo (Medtronic, Inc) memungkinkan kapsul berukuran pil dipasang ke mukosa esofagus distal selama endoskopi bagian atas. Pemantauan pH berlangsung selama 48 jam (vs 24 jam dengan probe pH konvensional). Kapsul terlepas dan dikeluarkan secara spontan dalam waktu 2 minggu. Kerugian utama dari sistem ini adalah hingga 10% pasien mengalami ketidaknyamanan karena adanya kapsul pH atau mungkin merasakan adanya kapsul (sensasi benda asing ringan). Pada beberapa pasien, kapsul dapat terlepas sebelum waktunya, tidak memungkinkan pemantauan pH selama 48 jam penuh. Ada juga laporan terisolasi dari perdarahan esofagus yang membutuhkan transfusi dan juga perforasi esofagus.

Komplikasi GERD

Komplikasi dari GERD kronis adalah perdarahan dari erosi esofagus atau ulserasi, pembentukan striktur, dan esofagus Barrett.

Ulkus Esofagus. Tingkat keparahan dan durasi gejala GERD berkorelasi dengan keparahan esofagitis. Ulkus esofagus akibat esofagitis terjadi pada sekitar 2% dari semua perdarahan saluran pencernaan bagian atas. Sebagian besar ulkus sembuh total dengan terapi supresi asam menggunakan PPI.

Striktur Esofagus, Kebanyakan pasien dengan striktur esofagus melaporkan disfagia selama rata-rata 4-6 tahun, dan hingga 25% menyangkan gejala GERD sebelumnya. Penurunan berat badan sebagai gejala utama kanker esofagus, jarang terjadi pada striktur esofagus karena pasien secara bertahap belajar mengubah kebiasaan makannya untuk menghindari makanan yang menyebabkan disfagia.

Karsinoma Esofagus. Meskipun tingkat keparahan dan durasi gejala GERD tampaknya memiliki sedikit korelasi dengan keberadaan esofagitis, terdapat bukti yang semakin meningkat bahwa GERD berat yang sering terjadi, terutama pada malam hari, merupakan faktor risiko utama perkembangan adenokarsinoma esofagus. Karsinoma esofagus biasanya berawal dari lesi pranker, yaitu Barret esophagus yang merupakan hasil metaplasia gaster atau duodenal di esofagus.

Tatalaksana GERD

Tatalaksana pengobatan GERD utama adalah modifikasi gaya hidup. Pasien diinstruksikan untuk menghindari makanan dan minuman yang mengandung asam yang dapat memperburuk gejala GERD mereka. Pasien harus menghindari berbaring selama 3 jam setelah makan karena makanan yang tertelan mungkin tertinggal di gaster dan menyebabkan refluks. Makanan dengan porsi sedikit dan frekuensi sering juga direkomendasikan untuk pasien GERD. Peninggian kepala tempat tidur sebanyak 6 inci juga dapat mengurangi gejala dengan menggunakan gravitasi untuk mencegah refluks. Dianjurkan agar pasien menghindari penggunaan pakaian yang ketat. Pasien harus diinstruksikan untuk berhenti merokok dan menurunkan berat badan, yang sangat penting untuk mengurangi atau menghilangkan gejala. Epidemi obesitas saat ini merupakan faktor penyebab utama peningkatan prevalensi GERD. Untuk pasien obesitas, operasi bariatrik dapat dianggap sebagai strategi untuk penanganan GERD.

Tatalaksana farmakologi diawali dengan agen antasida dan antisecretory (H2RA dan PPI). Antasida meredakan gejala dengan menetralkan asam lambung yang direfluks sehingga meningkatkan pH esofagus dan menonaktifkan pepsin. Antasida tidak mahal, mudah didapat, nyaman, dan efektif. Penggunaan antasida jangka pendek untuk gejala sesekali aman.

Antagonis reseptor histamin-2 (H2RA) menghambat sekresi asam lambung dengan secara kompetitif memblokir reseptor H2 yang terletak pada sel parietal lambung. H2-blocker memiliki catatan keamanan yang sangat baik dan telah disetujui oleh FDA untuk penjualan bebas. Antagonis reseptor H2 dosis rendah tidak hanya mencegah gejala nyeri ulu hati ketika dikonsumsi sebelum makan tetapi juga meredakan gejala nyeri ulu hati yang disebabkan oleh makanan dalam 15-40 menit bila diminum setelah makan. Antagonis reseptor-H2 harus diberikan dua kali sehari agar paling efektif pada pasien dengan GERD yang sering. Meskipun obat ini kira-kira 75% efektif pada pasien dengan derajat esofagitis ringan sampai sedang, obat ini hanya 50% efektif dalam penyembuhan esofagitis sedang sampai berat. Oleh karena itu, antagonis reseptor H2 sesuai untuk pasien dengan GERD ringan sampai sedang dan tetap menjadi modalitas pengobatan utama untuk gejala refluks.

PPI bekerja dengan memblokir hidrogen-kalium ATPase (H+/K+ATPase) pada permukaan apikal sel parietal. PPI lebih efektif daripada antagonis reseptor H2 karena bekerja pada jalur umum akhir sekresi asam daripada salah satu dari tiga reseptornya (histamin, asetilkolin, dan gastrin). Waktu penggunaan PPI penting karena obat ini paling efektif jika diminum dalam keadaan puasa 15-30 menit sebelum makan, ketika sel parietal memiliki pompa proton aktif dalam jumlah besar. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa waktu penggunaan PPI yang tidak tepat adalah umum di antara pasien dengan respons yang tidak memadai terhadap obat tersebut. Efek samping dapat terjadi pada hingga 3% pasien dan dapat termasuk sakit kepala dan diare. Efek samping yang jarang terjadi termasuk hepatitis dan nefritis interstisial. PPI yang menginduksi sistem sitokrom P450, memerlukan penyesuaian dosis warfarin, fenitoin, dan diazepam. Ada kontroversi tentang efek PPI pada clopidogrel, yang merupakan prodrug yang diubah menjadi bentuk aktifnya melalui sistem sitokrom P450 (CYP2C19). PPI adalah substrat dan penghambat CYP2C19, yang berpotensi mengurangi efek penghambatan clopidogrel pada platelet P2Y12. Studi klinis observasional tentang pengaruh PPI terhadap efektivitas clopidogrel telah menunjukkan hasil yang bertentangan. Satu-satunya uji coba acak besar pada pengguna clopidogrel omeprazole versus plasebo menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian kardiovaskular (rasio hazard dengan omeprazole 0,99, interval kepercayaan 95% [CI] 0,68-1,44, P = 0,96) bersama dengan penurunan kejadian GI yang signifikan (rasio hazard dengan omeprazole 0,34, 95% CI 0,18-0,63, P <0,001). Saat ini, bukti yang tersedia tidak membenarkan kesimpulan bahwa penggunaan PPI dikaitkan dengan kejadian kardiovaskular klinis di antara pengguna clopidogrel. PPI diindikasikan sebagai terapi awal pada pasien dengan GERD sedang sampai berat dan pada pasien dengan komplikasi GERD seperti perdarahan dan striktur. Sebuah studi yang meninjau 26 percobaan yang melibatkan 4064 pasien yang membandingkan PPI dengan antagonis reseptor H2 menunjukkan bahwa terapi PPI secara signifikan lebih baik daripada terapi antagonis reseptor H2 dalam pengobatan esofagitis pada 4–8 minggu.

Keamanan terapi PPI jangka panjang telah dibuktikan dengan pengobatan jutaan pasien selama 20 tahun terakhir dan persetujuan dari FDA. Selama pengujian awal obat-obatan ini, karsinoid lambung terlihat pada model hewan. Komplikasi ini belum terbukti terjadi pada manusia. Ada juga kekhawatiran teoritis tentang gangguan penyerapan nutrisi (terutama magnesium, kalsium, zat besi, dan protein) karena penurunan produksi asam lambung yang signifikan. Namun, hanya penurunan absorpsi magnesium yang dapat dibuktikan. Penurunan kadar vitamin B12 telah terlihat dengan penggunaan PPI jangka panjang, yang mungkin disebabkan oleh penurunan penyerapan vitamin B12 yang terikat protein. Oleh karena itu, kadar vitamin B12 harus dipantau secara berkala pada pasien yang menjalani terapi PPI terus menerus selama lebih dari 5 tahun. Pertumbuhan berlebih bakteri yang tidak signifikan secara klinis pada usus halus telah dicatat terjadi pada pasien dengan penggunaan PPI kronis. Namun, pertumbuhan bakteri yang berlebihan bisa menjadi signifikan jika ada kelainan motilitas yang mendasari usus kecil atau kelainan anatomi akibat pembedahan. Penggunaan PPI telah dikaitkan dengan peningkatan pneumonia komunitas, infeksi Clostridium difficile, dan patah tulang pinggul dalam studi observasi. Terlepas dari efek potensial ini, bukti klinis saat ini menunjukkan bahwa penggunaan PPI, bahkan untuk penatalaksanaan jangka panjang, secara keseluruhan aman dan tidak boleh dihindari jika diindikasikan secara klinis. Namun demikian, pengurangan dosis atau penghentian harus dilakukan saat gejala terkendali untuk mempertahankan pasien pada dosis serendah mungkin. Meskipun sebagian besar pasien dengan GERD berhasil ditangani dengan modifikasi gaya hidup dan terapi antisecretory, beberapa pasien mungkin memiliki gejala yang menetap meskipun telah diobati. Terapi antireflux yang bertujuan untuk meningkatkan penghalang mekanis di LES mungkin diperlukan pada populasi ini untuk mengurangi refluks non-asam atau memberikan pereda gejala lebih lanjut. Baclofen telah terbukti efektif dalam meningkatkan tonus LES basal dan menghambat relaksasi LES transien, sehingga menurunkan refluks. Namun, penggunaan baclofen telah dibatasi oleh waktu paruhnya yang pendek dan tolerabilitas pasien yang buruk. Pembedahan tetap menjadi andalan terapi antireflux dan dapat digunakan pada pasien dengan respons klinis yang baik terhadap perawatan medis yang ingin menghentikan pengobatan atau pada pasien yang gagal terapi medis.

Terapi Pembedahan

Operasi antireflux telah dilakukan sejak awal 1950-an. Tujuan dari operasi antireflux adalah untuk mempersempit diameter luminal esofagus bagian bawah sehingga mencegah refluks isi gastroduodenal. Prosedur yang paling banyak dilakukan adalah fundoplikasi Nissen. Beberapa penelitian telah melaporkan respons gejala 80-90% pada pasien yang menjalani prosedur fundoplikasi ini. Sebuah tinjauan dari enam uji coba terkontrol secara acak yang membandingkan fundoplikasi terbuka dan laparoskopi tidak menemukan perbedaan dalam tingkat kekambuhan GERD antara kedua prosedur, tetapi menunjukkan morbiditas operasi yang lebih rendah dan masa tinggal rumah sakit pasca operasi yang lebih pendek dengan pendekatan laparoskopi. Namun, hingga 62% pasien mungkin membutuhkan obat lagi 10 tahun setelah operasi antireflux mereka.

Komplikasi fundoplikasi adalah disfagia, nyeri dada, sindrom bloating, perut kembung pasca operasi, dan cedera saraf vagal yang menyebabkan gastroparesis dan diare. Prevalensi komplikasi ini berkisar antara 5% dan 20%. Disfagia pasca operasi terjadi pada 18% pasien, dengan disfagia dini terjadi pada sekitar 20% pasien dan disfagia lanjut terjadi pada 6% pasien pada 2 tahun. Manfaat operasi antireflux juga harus diimbangi dengan risiko 0,5–1% dari mortalitas operatif. Risiko kematian dikurangi dengan pendekatan laparoskopi dan pengalaman ahli bedah. Karena gangguan motilitas esofagus tertentu dapat menghasilkan gejala yang mirip dengan GERD, studi manometrik pra operasi sangat penting untuk menyingkirkan dismotilitas esofagus yang mendasari yang dapat diperburuk oleh fundoplikasi, seperti akalasia. Selain itu, penilaian untuk tanda obyektif refluks dan korelasi gejala melalui studi pH juga membantu dalam memperkirakan hasil pembedahan dan mengidentifikasi kandidat yang optimal, karena gangguan fungsional seperti dispepsia fungsional atau hipersensitivitas viseral dapat menghasilkan gejala yang sama tetapi cenderung tidak merespons operasi.

Terapi antireflux bedah baru yang baru-baru ini disetujui melibatkan penempatan gelang dengan manik-manik magnet di sambungan gastroesofageal. Perkiraan manik-manik ini dengan gaya magnet menciptakan penghalang di sambungan gastroesofageal untuk mencegah refluks isi lambung. Selama menelan, gaya pendorong dari gerak peristaltik esofagus menyebabkan pemisahan manik-manik magnetis ini dan pembukaan gelang, memungkinkan lewatnya bolus makanan melalui sambungan gastroesofagus. Prosedur ini terbukti efektif pada pasien tertentu dan dapat dianggap sebagai alternatif fundoplikasi tradisional. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai kemanjuran dan keamanan jangka panjang dari prosedur ini.

Prosedur Antirefluks dengan Endoskopi

Berbagai teknik endoskopi telah dikembangkan untuk pengobatan GERD. Setiap teknik antireflux endoskopi dirancang untuk mengubah anatomi sambungan gastroesofagus untuk mencegah GERD. Komplikasi yang terkait dengan prosedur antireflux endoskopi ini termasuk perdarahan, pneumonia aspirasi, perforasi, mediastinitis, dan jarang, kematian. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk lebih memahami mekanisme perawatan ini dan meningkatkan kemanjuran serta daya tahan prosedur endoskopi ini sebelum dapat direkomendasikan.

Kondisi Khusus : Nonerosive Reflux Disease (NERD)

Pasien NERD memiliki gejala GERD yang khas, tetapi tidak memiliki tanda esofagitis. Penyebab gejala pada pasien ini adalah nonacid reflux, visceral hypersensitivity, esophageal dysmotility atau spastic disorder, dan penyebab fungsional. Perawatan pasien NERD mirip dengan pasien dengan esofagitis erosif; akan tetapi, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien ini cenderung tidak merespon terapi PPI. Evaluasi dengan manometri esofagus dan studi impedansi pH dapat membantu menjelaskan lebih lanjut penyebab gejala yang mendasari di antara pasien NERD dengan menilai fungsi motorik esofagus dan mengidentifikasi tanda obyektif refluks. Antidepresan trisiklik dosis rendah dapat digunakan pada pasien NERD yang tidak respon terhadap terapi supresi asam konvensional.

Prognosis

Pasien tanpa esofagitis yang telah merubah gaya hidup dan melakukan terapi medis, dan mencapai remisi dari gejala klinis, obat harus dipertahankan selama 2-3 bulan sebelum diberhentikan. Terapi PPI dapat dikurangi menjadi rejimen dua hari sekali atau mengurangi dosis (jika mungkin), atau dialihkan ke H2-blocker. Kebanyakan pasien yang diobati dengan H2-blocker menggunakan obat dua kali sehari, dan pengurangan awal harus dengan rejimen sekali sehari. Jika pasien mentolerir pengurangan selama 2-4 minggu tanpa peningkatan gejala, dosis dapat diturunkan lebih lanjut atau pengobatan dihentikan.

Jika pasien mengalami gejala berulang, rejimen pengobatan harus ditingkatkan sampai resolusi gejala tercapai. Jika pasien GERD yang menjalani terapi PPI jangka panjang tiba-tiba menghentkani obatnya, banyak yang akan mengalami gejala yang lebih buruk daripada keluhan awal yang muncu (rebound hypersecretion). Fenomena “hipersekresi rebound” ini terjadi ketika sel parietal mengeluarkan asam dalam jumlah yang tinggi setelah blokade yang berkepanjangan. Terapi PPI yang dikurangi dalam waktu lama membantu memperbaiki gejala ini. Pemberantasan infeksi Helicobacter pylori di corpus gaster telah terbukti memperburuk hipersekresi rebound, karena gastritis yang dominan di korpus biasanya menyebabkan penurunan produksi asam. Di sisi lain, infeksi H pylori yang dominan di antral dikaitkan dengan hipersekresi asam, dan pemberantasan dapat menyebabkan perbaikan gejala terkait asam.

Terapi untuk GERD seringkali bersifat kronis dan jangka panjang pada kebanyakan pasien karena kelainan yang mendasari adalah disfungsi LES, yang biasanya tidak secara langsung dipengaruhi oleh terapi medis. Di antara pasien dengan esofagitis erosif, lebih dari 80% akan kambuh jika terapi mereka dihentikan. Obat yang sama yang menyebabkan remisi biasanya diperlukan dalam dosis yang sama untuk mempertahankan remisi. Bagi pasien yang tidak dapat menghentikan terapi supresi asam karena gejala kambuh, terapi medis yang tersedia untungnya sangat efektif dan umumnya aman.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *