Pendahuluan

Hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi 4 kategori utama, yaitu preeklampsia-eklampsia-sindrom HELLP, hipertensi gestasional, hipertensi kronik dan preeklampia superimposed hipertensi kronik. Diagnosis yang akurat diharapkan dapat membuat keputusan manajemen seperti waktu persalinan, kebutuhan profilaksis anti kejang, dan evaluasi prognosis maternal. Pada suatu penelitian serial kasus didapatkan dari 11% kasus hipertensi pada ibu hamil, didapatkan 4,7% pasien dengan preeklampsia, 3,8% pasien dengan hipertensi gestasional, 1,7% pasien dengan hipertensi kronik, dan 0,6% dengan hipertensi yang tidak terklasifikasi.  Preeklampsia merujuk pada onset hipertensi baru pada saat kehamilan, umumnya diatas 20 minggu, yang disertai proteinuria. Namun kondisi preeklampsia juga dapat berkembang setelah persalinan. Pada tahun 2013, American College of Obstetricians and Gynecologists membuang kriteria esensi proteinuria untuk diagnosis dan juga membuang kriteria proteinuria masif (5 mg/24 jam), oligouri, serta restriksi pertumbuhan janin sebagai kriteria penyakit eklampsia berat.

Faktor Risiko Preeklampsia

Faktor risiko preeklampsia adalah :

  1. Riwayat preeklampsia sebelumnya, meningkatkan risiko 8,4 kali dibandingkan tanpa riwayat preeklampsia.
  2. Diabetes pregestasional, meningkatkan berbagai faktor seperti obesitas, peningkatan resistensi insulin dan metabolisme lipid
  3. Hipertensi kronik
  4. Penyakit autoimun seperti SLE dan sindrom antifosfolipid yang diduga berperan dalam mekanisme inflamasi, mikroangiopati, peningkatan turnover platelet dan gangguan ginjal.
  5. Obesitas
  6. Penyakit ginjal kronik
  7. Kehamilan kembar
  8. Nullipara
  9. Riwayat keluarga dengan preeklampsia
  10. Usia maternal yang tua
  11. Penggunaan assisted reproductive technology

Patofisiologi Preeklampsia

Patofisiologi preeklampsia meliputi faktor dari maternal dan faktor placenta/fetus. Abnormalitas dari perkembangan vaskular plasenta pada awal kehamilan dapat menyebabkan kurangnya perfusi plasenta/ hipoksia/ iskemik yang menyebabkan pelepasan faktor antiangiogenik ke sirkulasi maternal sehingga memengaruhi perubahan fungsi endotel sistemik maternal dan menyebabkan hipertensi hingga manifestasi disfungsi sistem organ lainnya. Peran kritis dari plasenta dalam patofisiologi preeklampsia adalah defek pada remodeling arteri spiralis dan invasi trofoblas.

Pada kehamilan normal, sel sitotrofoblas yang akan bermigrasi melalui desidua dan bagian dari miometrium untuk melakukan invasi ke endotel dan tunika media dari arteri spiralis maternal. Arteri spiralis maternal merupakan cabang terminal dari arteri uterina yang berperan dalam proses suplai darah untuk perkembangan fetus atau plasenta. Invasi tersebut menyebabkan transformasi pembuluh darah dari arteri muskular menjadi arteri dengan kapasitansi yang memiliki resistensi rendah untuk memfasilitasi aliran darah yang baik dari uterus ke plasenta. Remodeling arteri spiralis umumnya terjadi pada akhir trimester 1 dan selesai pada usia gestasi 18 – 20 minggu. Pada eklampsia, sel sitotrofoblas menginfiltrasi bagian desidua dari arteri spiralis, namun gagal melakukan penetrasi pada segmen miometrium. Akibatnya arteri spiralis gagal berkembang menjadi vaskular yang besar, lumen pembuluh darah tetap kecil dengan dinding muskular, sehingga terjadi hipoperfusi dari plasenta. Perkembangan sekuel gangguan sirkulasi uteroplasenta ini tidak diketahui penyebabnya, beberapa teori menunjukkan adanya faktor dari vaskular, lingkungan, imunologis dan genetik.

Defek diferensiasi dari trofoblas merupakan salah satu mekanisme yang mungkin berperan dalam defek invasi trofoblas ke arteri spiralis. Diferensiasi trofoblas saat invasi ke endotel meliputi perubahan ekspresi dari berbagai molekul seperti sitokin, molekul adhesi, matriks ekstraseluler, metalloproteinase, MCH kelas Ib, dan HLA-G. Pada saat diferensiasi normal, trofoblas yang menginvasi akan memengaruhi ekspresi molekul adhesi dari sel epitel (integrin alfa 6/beta 1, alfa v/beta 5 dan E-cadherin) ke sel endotel (integrin alfa1/beta 1, alfa v/beta 3, dan VE-cadherin), yang dikenal dengan istilah pseudovaskulogenesis. Pada pasien dengan preeklampsia, tidak terjadi regulasi terhadap ekspresi molekul adhesi atau pseudovaskulogenesis ini. Studi yang dilakukan pada trofoblas wanita dengan preeklampsia berat menunjukkan semaphorin 3B merupakan protein yang berkontribusi dalam defek diferensiasi dan invasi trofoblas dengan cara menghambat sinyal VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor).

Beberapa studi menyatakan bahwa kegagalan desidualisasi pada beberapa pasien akan menyebabkan penurunan regulasi invasi sitotrofoblas. Sel desidua dari wanita preeklampsia mengalami overekspresi dari sFlt-1 yang menunjukkan bahwa penekanan faktor anti-angiogenik yang tidak memadai selama periode implantasi akan menyebabkan implantasi yang dangkal. Fokus pada faktor imunologis sebagai kontributor yang mungkin menyebabkan perkembangan plasenta abnormal didasarkan pada pengamatan bahwa paparan sebelumnya terhadap antigen paternal atau janin berperan dalam faktor proteksi terhadap preeklampsia. Wanita nulipara, berganti pasangan diantara kehamilan, interval antar kehamilan yang panjang, penggunaan kontrasepsi barier meningkatkan risiko perkembangan preeklampsia pada beberapa studi. Abnormalitas imunologis mirip dengan rejeksi organ. Sel pada EVT (extravillous trophoblast) mengekspresikan antigen HLA kelas I tipe C, E dan G. Sel natural killer mengekspresikan berbagai variasi reseptor (CD94, KIR, dan ILT) yang berperan mengenal HLA kelas I untuk infiltrasi desidua dalam kontak dekat dengan sel EVT. Interaksi antara sel natural killer dengan sel EVT merupakan hipotesis dalam kontrol implantasi plasenta. Pada pasien preeklampsia, terjadi konflik antara gen maternal dan gen paternal yang dipercaya menginduksi implantasi abnormal plasenta melalui peningkatan aktivitas sel natural killer.

Biopsi plasenta pada wanita preeklampsia mengungkapkan peningkatan infiltrasi sel dendritik di jaringan desidua. Sel dendritik adalah inisiator penting dalam respon sel T spesifik antigen. Ada kemungkinan bahwa peningkatan jumlah sel dendritik menyebabkan perubahan presentasi antigen ibu dan janin pada tingkat desidua, yang menyebabkan implantasi abnormal atau respon imunologis ibu berubah terhadap antigen janin. Namun, bukti definitif dari teori ini sangat kurang. Studi genetik untuk melihat polimorfisme dari killer immunoglobulin receptors (KIR) pada sel NK maternal dan HLA-C fetal menyatakan bahwa wanita dengan genotipe KIR-AA dan HLA-C2 pada fetal meningkatkan risiko dari preeklampsia. Beberapa penemuan menarik pada pasien preeklampsia ditemukan adanya peningkatan kadar antibodi agonis terhadap reseptor angiotensin AT-1. Antibodi ini dapat dimobilisasi oleh kalsium bebas intraseluler dan berperan meningkatkan produksi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan invasi trofoblas yang dangkal. Reseptor angiotensin AT-1 juga menstimulasi sekresi dari sFlt-1. Namun perubahan ini berlum diketahui apakah merupakan proses patogenik atau epifenomena. Gen sFLT-1 dan Flt-1 dibawa oleh kromosom 13. Fetus dengan kromosom 13 yang ekstra (misalnya trisomi 13) akan memproduksi lebih banyak produk gen ini.

Faktor lingkungan juga berperan dalam perkembangan preeklampsia. Intake kalsium yang rendah dan indeks massa tubuh yang tinggi dihubungkan dengan kejadian risiko tinggi preeklampsia. Hipotesis menunjukkan pasien dengan obesitas akan menginduksi inflamasi kronik dan disfungsi endotel sehingga bersinergi dalam faktor angiogenik plasenta yang menginduksi kelainan mikroangiopatik.

Semua gejala klinis dari preeklampsia dapat dijelaskan melalui respon klinis terhadap difsungsi endotel. Sebagai contoh, hipertensi diakibatkan oleh gangguan kontrol endotel pada tonus vaskular, proteinuria dan edema akibat peningkatan permeabilitas vaskular, dan koagulopati akibat dari respon ekspresi abnormal dari prokoagulan endotel. Nyeri kepala, kejang, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, gangguan pertumbuhan fetal merupakan sekuel dari disfungsi endotel terhadap vaskular pada target organ masing – masing.

Plasenta mamalia memerlukan proses angiogenesis untuk mempertahankan vaskular terhadap suplai oksigen dan nutrisi pada fetus. Zat proangiogenik (VEGF, PIGF) dan faktor antiangiogenik (sFlt-1) berelaborasi dalam suatu keseimbangan untuk perkembangan plasenta. Peningkatan produksi antiangiogenik akan menyebabkan gangguan keseimbangan faktor ini dan berakibat pada disfungsi endotel sistemik sebagai karakteristik dari preeklampsia. sFlt-1 merupakan antagonis proangiogenik dari VEGF dan PIGF dengan cara berikatan pada faktor tersebut dan mencegah interakhirnya dengan reseptor endogen. Namun, peningkatan ekspresi sFlt-1 belum diketahui secara pasti penyebabnya. Paling mungkin akibat terpicu oleh iskemik dari plasenta. Suatu studi menunjukkan peningkatan sFlt-1 menyebabkan peningkatan stres oksidatif pada vaskular dan meningkatkan sensitivitas vasopresor seperti angiotensin II yang menyebabkan hipertensi. Eng adalah koreseptor pada TFG-β yang diekspresikan pada membran sel endotel vaskular dan sinsitiotrofoblas. Bentuk Eng yang larut (S-Endoglin atau S-Eng) adalah protein anti angiogenik yang merupakan mediator penting lainnya pada preeklampsia. Meskipun hubungan yang tepat antara sEng dan sFlt-1 tidak diketahui, namun keduanya tampak berkontribusi pada patogenesis melalui mekanisme yang terpisah. Janin dari ibu preeklampsia tidak memiliki konsentrasi sEng atau sFlt-1 yang tinggi sehingga menunjukkan bahwa janin tidak mengalami proteinuria ataupun hipertensi seperti ibunya karena tidak terpapar dengan faktor antiangiogenik tersebut.

Manifestasi Klinis Preeklampsia

Presentasi tipikal pada 1/3 pasien adalah nulipara dan kebanyakan berisiko tinggi akibat obesitas, riwayat preeklampsia, hipertensi kronik, kehamilan multipel, gangguan ginjal kronik atau diabetes gestasional. Sekitar 85% pasien didiagnosis pada usia ≥34 minggu gestasi, 10% pada < 34 minggu gestasi dan sekitar 5% didiagnosis pada saat postpartum (postparum preeclampsia) yang biasanya dalam waktu 48 jam setelah persalinan. Gejala umum yang muncul adalah nyeri kepala persisten dan/atau berat, gangguan penglihatan (skotomata, fotofobia, penglihatan kabur, buta sementara), nyeri epigastrium/retrosternal/ abomen atas, dyspneu, hingga orthopneu. Hipertensi merupakan hasil pemeriksaan fisis pertama yang ditemukan pada pasien preeklampsia. Tekanan darah biasanya meningkat ≥140/90 mmHg.

Nyeri epigastrium/ retrosternal/ abdomen atas sering dikaitkan sebagai tanda kardinal dari spektrum penyakit preeklampsia. Karakteristiknya berupa nyeri kontan yang berat, biasanya terjadi pada malam hari, menjalar ke retrosternal atau epigastrium hingga hipokondrium dextra. Mual dan muntah juga dapat terjadi. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada daerah hepar akibat peregangan kapsula glissoni akibat pembengkakan sel hepar ataupun perdarahan.

Nyeri kepala biasanya terjadi di daerah temporal, frontal, occipital ataupun difus. Nyeri kepala ini bukan merupakan tanda patognomonik, namun dapat mengarahkan kita pada kondisi preeklampsia. Mekanisme nyeri kepala yang merupakan gejala serebrovaskular masih belum diketahui secara pasti, namun edema cerebri dan perdarahan/iskemik cerebri pada hemisfer posterior diobservasi dengan CT dan MRI pada pasien preeklampsia. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh disfungsi endotel menyeluruh yang menyebabkan vasospasme dari vaskular serebral sebagai respon dari hipertensi berat, sehingga terjadi hilangnya autoregulasi serebrovaskular. Gangguan penglihatan terjadi akibat spasme dari arteriol retina, gangguan autoregulasi cerebrovaskular, dan edema cerebri. Gejala berupa penglihatan kabur, fotopsia, skotomata, diplopia hingga amaurosis fugax.

Orthopneu atau dyspneu pada pasien preeklampsia terjadi akibat edema paru. Kondisi ini terjadi akibat meningkatnya tekanan hidrostatik vaskular paru disertai penurunan onkotik plasma paru, terutama saat periode postpartum. Namun tidak semua pasien preeklampsia menderita gejala ini. Oligouri juga dapat terjadi pada pasien preeklampsia akibat kontraksi ruang intravaskular akibat vasospasme yang menyebabkan peningkatan retensi natrium dan air. Laju filtrasi glomerulus akan menurun 25%.

Pemeriksaan Laboratorium Preeklampsia

Pemeriksaan laboratorium yang mengarahkan kita pada preeklampsia adalah :

  • Proteinuria, didefinisikan sebagai :
    • ≥0,3 gram protein dalam spesimen urin 24 jam
    • Protein dari spesimen urin acak : kreatinin ≥0,3 mg/mg
    • Protein ≥+2 (30 mg/dl) pada dipstick dengan menggunakan spesimen urin pancaran tengah jika tidak dapat dilakukan metode pengukuran kuantitatif

Proteinuria merupakan tanda adanya gangguan integritas dari laju filtrasi glomerulus dan perubahan tubulus untuk menfiltrasi protein. Kondisi ini diakibatkan hilangnya sel podosit akibat kurangnya sinyal VEGF.

  • Peningkatan kadar kreatinin, akibat dari penurunan laju filtrasi glomerulus.
  • Trombositopenia merupakan abnormalitas koagulasi paling utama pada pasien preeklampsia akibat rusaknya endotel mikroangiopatik dan aktivasinya sehingga membentuk trombus platelet dan trombin pada mikrovaskular.
  • Hemolisis, ditandai dengan adanya sel skistosit dan sel helmet pada apusan darah tepi akibat hemolisis mikroangipati. Kondisi ini ditemukan pada preeklampsia berat. Hemokosentrasi juga dapat terjadi akibat vasospasme dari vaskular yang menyebabkan kebocoran kapiler sehingga bagian cair darah keluar ke interstisial.

Pada pemeriksaan USG, bisa didapatkan adanya oligohidramnion akibat kurangnya distribusi darah ke sirkulasi fetal sehingga darah dialirkan lebih banyak pada organ vital fetus seperti otak. Pada pemeriksaan doppler arteri uterina dan umbilikal, didapatkan peningkatan dari pulsatility index disertai notching pada arteri uterina. Peningkatan resistensi pembuluh darah plasenta terlihat dari peningkatan indeks doppler pada arteri umbilikalis. Jika didapatkan reversed end diastolic flow atau absennya EDF, Maka dihubungkan dengan hasil akhir perinatal yang buruk.

Kriteria Diagnosis Preeklampsia

Pada tahun 2017, ACOG telah melalukan perbaruan pada kriteria diagnosis preeklampsia. Sebelumnya pasien preeklampsia dapat ditegakkan pada wanita hamil dengan proteinuria. Namun beberapa pakar menyatakan bahwa preeklampsia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria. Kriteria diagnosis juga tidak memisahkan antara preeklampsia ringan dan berat. Peeklampsia didiagnosis pada wanita yang normotensif pada awal kehamilan dan didapatkan onset hipertensi baru (tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg, yang diukur 2x berturut – turut setidaknya rentang 4 jam) disertai proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu atau postpartum. Jika tidak didapatkan proteinuria, diagnosis masih bisa ditegakkan dengan tanda atau gejala disfungsi organ spesifik, dengan salah satu kriteria berikut :

  1. Proteinuria ≥ 0,3 gr pada urin 24 jam, atau rasio protein/kreatinin ≥0,3 mg/mg pada spesimen urin acak, atau dipstik ≥+2 jika pengukuran kuantitatif tidak dapat dilakukan
  2. Jumlah platelet <100.000/µL
  3. Kreatinin serum >1,1 mg/dl atau peningkatan 2x dari konsetrasi basal pada pasien tanpa penyakit ginjal.
  4. Peningkatan transaminase hepar 2x dari batas atas normal pada konsentrasi di laboratorium lokal
  5. Edema paru
  6. Onset baru dan persisten dari nyeri kepala yang tidak mempunyai diagnosis alternatif dan tidak berespon dengan dosis analgesik biasa ataupun gangguan penglihatan (penglihatan kabur, flashing, skotomata)

Preeklampsia dengan gejala berat (Preeklampsia berat) ditegakkan jika didapatkan gejala preeklampsia ditambah salah satu dari kondisi berikut :

  1. Hipertensi berat (tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥110 mmHg)
  2. Jumlah platelet <100.000/µL
  3. Peningkatan kadar transaminase hepar lebih dari 2x batas atas normal atau nyeri persisten perut kanan atas atau nyeri epigastrik yang tidak berespon dengan pengobatan
  4. Serum kreatinin >1,1 mg/dl atau peningkatan 2x dari konsetrasi basal pada pasien tanpa penyakit ginjal.
  5. Edema paru
  6. Onset baru dan persisten dari nyeri kepala yang tidak mempunyai diagnosis alternatif dan tidak berespon dengan dosis analgesik biasa ataupun gangguan penglihatan (penglihatan kabur, flashing, skotomata)

Skrining Preeklampsia

Pengukuran tekanan darah secara rutin diperlukan untuk menunjang skrining dari preeklampsia. Aspirin dosis rendah adalah satu – satunya obat yang terbukti bermanfaat dalam mengurangi risiko preeklampsia bila diberikan selama wanita hamil risiko tinggi pada trimester kedua dan ketiga. Untuk wanita yang berisiko tinggi mengalami preeklampsia, tentukan usia kehamilan, tekanan darah basal, dan nilai laboratorium seperti jumlah trombosit, konsentrasi kreatinin, tes fungsi hati, dan estimasi protein di awal kehamilan dapat membantu untuk proses skrining.

Tatalaksana Preeklampsia

Pada pasien preeklampsia dengan gejala berat, maka diindikasikan untuk melakukan persalinan pada usia gestasi ≥34 minggu. Persalinan akan meminimalisir risiko komplikasi maternal seperti perdarahan cerebral, ruptur hepar, gagal ginjal, edema paru, kejang, perdarahan akibat trombositopenia, infark miokard, stroke, distres pernapasan akut, gangguan retina hingga abrupsio plasenta. Pada kehamilan dengan janin belum mencapai batas bawah viabilitas, kehamilan <34 minggu dengan persalinan prematur atau ketuban pecah sebelum melahirkan, kondisi ibu dan/atau janin yang tidak stabil juga merupakan indikasi untuk melakukan persalinan. Upaya untuk memperpanjang masa kehamilan akan membuat ibu dan janin menghadapi risiko yang signifikan dibandingkan potensi manfaat yang relatif kecil. Jika ingin menunda persalinan, ibu dan janin harus dalam kondisi stabil dan dipantau ketat di rumah sakit. Pada pasien preeklampsia tanpa gejala berat, maka direkomendasikan persalinan pada usia gestasi ≥37 minggu.

Perawatan yang penting pada preeklampsia berat adalah pengolahan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia memiliki resiko tinggi untuk mengalami edema paru dan oliguria. Harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan oleh urin. Bila terjadi tanda-tanda edema paru harun dilakukan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa 5% Ringer Dekstrose atau cairan NaCl jumlah tetesan < 125 cc/jam, atau Infus Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer Laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. Selain diberikan cairan, dipasang juga Foley Catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Dikatakan oliguria bila produksi urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc dalam 24 jam.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian MgSO4, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi karena terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan ion magnesium. Kadar kalsium yang tinggi dalam darah menghambat kerja magnesium sulfat. Loading dose magnesium sulfat adalah 4 gram intravena ( 40% dalam 10 cc) selama 15 menit, kemudian dilanjurkan maintenance dose infus 6 gram dalam larutan Ringer / 6 jam, atau diberikan  4 atau 5 gram IM. Syarat pemberian MgSO4 adalah harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonat 10 % = 1 g (10% dalam 10cc) diberikan IV selama menit, refleks patella (+) kuat, frekuensi pernapasan > 16 kali / menit, dan tidak ada tanda-tanda distress napas. Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.

Antihipertensi masih diperdebatkan tentang penentuan batas tekanan darah untuk pemberiannya. Tekanan darah ditutunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <160/105 atau MAP <125. Antihipertensi lini pertama yang digunakan di Indonesia adalah Nifedipin dengan dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. Obat lain yang diberikan di Indonesia dalam bentuk injeksi adalah klonidine (Catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *